Minggu, 23 Januari 2011

JALAN H I D U P


Jalan hidup merupakan sebuah konsekuensi yang rasional atas sebuah pilihan yang telah di putuskan dalam ruang dialektika manusia bersama Tuhan. Pilihan yang tersembunyi tanpa jangkauan pengetahuan yang mendalam, pilihan dalam ruang dielektika yang sakral dengan nilai religius keagamaan. Pilihan hidup yang pada akhirnya aku, kamu dan  semua manusia terdiam tak membanta atas kehendak ketuhanan. Jalan hidup terkadang menggoyah prinsip dan membuat raga tak kuat menghadapi terjalnya jalan kehidupan.
Jalan kehidupanku tak seperti yang ku inginkan, namun aku telah memilih untuk hidup…aku terkadang merasa diri ini hidup dalam ruang kemiskinan. Namun, apa arti sebuah kemiskinan?? Pada saat semua orang merasa dirinya kaya pada saat kelaparan menghabiskan sejuta jiwa manusia. Ada yang mati karena menahan rasa haus dan lapar dan pada saat yang sama ada yang masih bisa menikmati sejuta kenikmatan hidup dengan menyantap lezatnya hidangan kaum-kaum kapitalis.
Aku heran dengan kehidupan yang penuh dengan penindasan..!!! Kaya membiarkan miskin tetap miskin! Aku dengan kemiskinanku…tak menginginkan kemiskinan menghabiskan nyawa sodara-sodara miskinku. Tangisan hati ini dalam kesendirian mengahadapi beratnya jalan hidup telah membuat aku memahami arti dari sebuah kehidupan. Bahwa kehidupan dapat berarti apabila kita dapat berbuat sesuatu yang bermakna buat orang yang ada di sekelilingi Kita!!!

Untaian Hati Matengo!!!

Abd. Rohman Salam
Ruang Kamarku, 27 Oktober 2010



HATI YANG TERKOYAK


  Kehidupan menjadi sebuah bayangan semu saat hati tak lagi menemukan secerca bahasa cinta, mati dan tak lagi bergetar. Hidup menjadi sesuatu yang tak lagi bermakna ketika semua telah terendap dalam larah, diam tak berkata. Apa yang telah terjadi dengan hati ini?? Aku bingung dengan bahasa hatiku, bingung dengan ruang perasaanku sendiri…saat hati ini takut berbicara tentang bahasa cinta. Hatiku menjadi takut mengungkapkan bahasa cinta…saat semuanya menjadi semu tak berarti, aku memilih terdiam dalam ruang kamarku yang sepih dan membisuh. Aku takut dengan keramaian yang menggores luka dalam ruang perasaanku.
Keramaian, kegembiraan, keceriaan bagiku merupakan sebuah kemunafikan…saat jiwa ini dilanda kesunyian, tak ada yang mampu memahami ruang perasaan ini. Aku berharap ada sosok yang datang dan menghampiri jiwa yang sunyi ini…mengobati kesepihan hatiku. Aku dalam kesunyian kamar ini tak lagi mampu menguraikan kata-kata yang berarti dalam hidupku, aku berteman dengan keramaian dalam jiwa yang sepih dan rapuh. Aku ingin berteriak dalam keheningan malam saat semua orang terlelap dalam tidur dan indahnya mimpi, namun teriakku tak akan berarti.
Aku takut melangkah untuk menggapai cita-citaku, langkahku hampir terhentikan oleh sejuta benturan kehidupan yang tak terhentikan. Berhenti tak berkata dan diam membisu..!!!


Untaian bahasa hati Matengo…!!!

Abd. Rohman Salam
Ruang Kamarku, 27 Oktober 2010



KOLANO DAN KEKUASAAN POLITIK (Refleksi Kepemimpinan Mudafar Syah)


” To Ta’ati Mai Sala, To Ta’ati Ua Mae Lebi Sala. Lebi Laha To Ta’ati Afa, La To Salah Toma Banar Madaha”
(Abd. Rohman Salam)

KOLANO, sebuah nama yang ditorehkan rakyat Ternate buat seseorang yang dianggap memiliki sesuatu untuk dapat memimpin masyarakat Ternate dengan segenap pengabdian selaku seorang amirul mukminin. Sosok kepemimpinan yang dibingkai dalam wujud adat se-atorang menjadi sebuah legitimasi sah atas kepemimpinan yang diberihkan oleh bala (rakyat) terhadap Kolano, sehingga Kolano dapat dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya serta patut untuk ditaati dan tunduk atas segala perintahnya. Kolano, bukanlah dilihat sebagai sosok manusia biasa yang dapat dikritisi sesuai dengan prinsip-prinsip adat se-atorang yang dibingkai dengan nilai-nilai dasar Al-Qur’an.
Melirik fenomena kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Ternate dengan segala bentuk kepatuhan dan ketaatan masyarakat adat Ternate mengingatkan semua orang pada masa-masa keemasan peradaban Islam di era kepemimpinan Rasulullah SAW, bahwa kepemimpinan bukanlah sesuatu yang begitu sakral untuk dapat disanjung dan ditakuti melebihi kodrat Ketuhanan, sehingga Kolano hanyalah sosok manusia biasa yang seyogyanya dapat dikritisi sebagai bentuk dari sebuah pembangunan masyarakat manusia yang seutuhnya.
Berangkat dari sebuah pemaknaan dengan penafsiran Kolano tersebut diatas, maka dapat terlihat dengan jelas dalam fenomena pergolakan politik yang mengahadirkan Kolano sebagai sosok seorang politisi dengan wujud legitimasi dalam bentuk idin dan doru gam (ritual adat Ternate) telah menggeser nilai-nilai dasar kemanusian dalam bingkai adat se-atorang (lihat 10 dasar nilai Kemanusian masyarakat adat Ternate). Nilai kemanusian yang terpatri dalam diri manusia yang lahir dari falsafa suba jou diantaranya Galib se Lakudi; yakni ketetapan dan ketentuan Allah yang berlaku bagi manusia disemua segi kehidupan manusia, dimana manusia tidak boleh merubahnya. Gambaran tentang galib se lakudi, bahwa manusia merupakan mahluk Tuhan yang diberikan kebebasan yang sangat besar didalam berbuat menentukan kehidupannya, manusia bebas menentukan gagasan yang ada dalam dirinya, manusia bebas memilih apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Manusia memang sangat bebas bahkan ini dikenal sebagai hak asasi, tetapi tentunya manusia terus bertanggung jawab (Hidayat Syah: 2006).
Dalam kehidupan sosial-politik Kolano, bahwa ternyata masyarakat adat tidak diberikan ruang demokratisasi atas pilihan-pilihan politik yang rasional sesuai dengan nilai-nilai kemanusian yang termaktub dalam filosofi suba jou, sehingga idin dan ritual adat (doru gam) menjadi sebuah alat legitimasi yang sarat dengan nilai kepentingan politik untuk dapat meraut kekuasaan politik. Konsepsi Suba Jou dengan nilai-nilai kemanusian yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat adat Ternate seyogyanya menjadi sebuah prinsip pembangunan manusia dalam perbaikan tatanan sosial yang saat ini mengalami transisi nilai dan bukanlah menjadi sebuah idiom yang tercecer dalam ruang politik.
Penulis dengan seksama mengobservasi fenomena politik Kolano dengan maistrem politiknya yang telah menghadirkan ketimpangan sosial dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat adat Ternate, hal ini dapat tergambarkan dengan jelas bahwa adanya masyarakat dengan  transisi identitas serta dengan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan menjadi sebuah alat empuk Kolano dalam mengeluarkan idin sebagai sebuah alat legitimasi politik tanpa memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat adat Ternate, sehingga dengan prototipe politik yang demikian, maka idin bukan lagi dilihat sebagai alat dari sebuah legitimasi etis, namun dapat dipandang sebagai sebuah alat legitimasi ekonomi dalam kekuasaan Kolano, memimjam apa yang dikatakan oleh Lenin bahwa :

“... kita boleh saja mencoba meminjamkan perjuangan ekonomi dengan sebuah karakteristik politik. Namun, kita tidak akan pernah dapat membangun kesadaran politik para pekerja dengan mengekang mereka dalam kerangka perjuangan ekonomi. Semua kerangka semacam ini sungguh terlalu sempit.”(Lenin, 1946;132 dalam Antonio Gramsci, 2003).
Perjuangan politik Kolano dapat dilihat sebagaimana apa yang dikatakan oleh Lenin tersebut diatas, sebuah kerangka yang sempit yang tidak memiliki nilai perjuangan kemanusiaan, karena perjuangan politik Kolano tidak dapat menghadirkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Adat Ternate, namun hanya menghadirkan kesejahteraan buat para elit bangsawan tertentu. Kolano seyogyanya hadir seperti sosok Umar Bin Abd. Aziz pada masa keemasan kepemimpinannya dalam memimpin para bala kusu se kano-kanonya, bukan sebaliknya menjadikan kekuasaan politik untuk menumpuk ekonomi dan membiarkan bala dalam sebuah transisi ekonomi.
Kolano dengan kekuasaan politik yang menduduki posisi sebagai anggota DPR RI dan DPD RI dalam dua periode ini telah menanggalkan bala (rakyat) tanpa memberikan sumbangsi riil dengan membiarkan mereka menjadi puing-puing yang tercecer dalam pertarungan kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai kapitalisme. Sehingga menurut penulis bahwa adanya praktek kolonisasi terhadap masyarakat adat Ternate, karena masyarakat hanyalah menjadi pekerja kasar dalam ruang apapun yang diberikan oleh Kesultanan Ternate.
Masyarakat adat Ternate dengan kesadaran sosial-budayanya tidak memuntut untuk diberihkan nafkah batin dan materi, namun hal ini tentunya telah  menjadi sebuah kewajiban pokok dari sosok seorang Kolano yang dihadirkan Tuhan sebagai Khalifah atas rakyatnya sebagaimana seperti apa yang diungkapkan oleh Ali Syari’ati bahwa ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”(Ekky Malaky : 2004). Manusia merupakan individu yang otonoom dengan segala pemikiran dan kreatifitasnya serta memiliki kebebasan untuk menentukkan segala kehendaknya, namun sebagai Khalifah manusia akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. 
Masyarakat adat Ternate dengan tipe kebudayaannya bukannya dijadikan sebagai alat pemanfaatan dalam bingkai kehidupan diera demokratis saat ini, karena masa kolonisasi telah berakhir. Sehingga dengan lajuhnya arus pembangunan yang terkooptasi dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi menuntut Kolano mampu memposisikan diri sebagai wujud pelayan bagi masyarakat adat Ternate, karena Kolano merupakan tumpuhan harapan masyarakat adat Ternate dan masyarakat Maluku Utara pada umumnya sebagai sosok yang dituahkan dalam mengatur pola kehidupan kemanusiaan di Jazirah Al’mamlukh. Sosok yang mampu menjadi suri tauladan bagi seluruh rakyat Maluku Utara yang memegang teguh prinsip-prinsip adat se-atorang yang bersandarkan pada nilai-nilai Qur’ani. Dalam kerangka yang demikian, maka Kolano layaknya untuk dikritisi sesuai dengan konsepsi filosifi Suba Jou. Wallahuwallam’bissawab.